Majikan rumah pelacuran berkata
kepadanya:
"Sudah dua minggu kamu
berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang. Malahan kapadaku kamu
berhutang.
Ini beaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu harus pergi.”
(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku. Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).
Jam dua-belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak mega.
Maria Zaitun ke luar rumah
pelacuran.
Tanpa koper. Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang
muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya. Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering.
Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Ia pergi kepada dokter. Banyak pasien lebih dulu
menunggu.
Ia duduk di antara mereka.
Tiba-tiba orang-orang menyingkir
dan menutup hidung mereka.
Ia meledak marah tapi buru-buru jururawat
menariknya.
Ia diberi giliran lebih dulu
dan tak ada orang memprotesnya.
"Maria Zaitun,
utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
"Ya,” jawabnya.
"Sekarang uangmu brapa?”
"Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan
menyuruhnya telanjang. Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok
ketiaknya.
"Cukup,” kata dokter.
Dan ia tak jadi mriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat: "Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget jururawat berbisik
kembali:
"Vitamin C?
Dokter, paling tidak ia perlu
Salvarzan.” "Untuk apa?
Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas ia hampir
mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negri?”
(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku. Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka.)
Jam satu siang.
Matahari masih dipuncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa
sepatu.
Dan aspal jalan yang jelek
mutunya lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Karna kuatir akan pencuri.
Ia menuju pastoran dan menekan
bel pintu. Koster ke luar dan berkata:
"Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.”
"Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata:
"Asal tinggal di luar, kamu boleh
tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima
kamu.” Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan
dan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang
kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan crutu, lalu bertanya:
"Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya: "Mau mengaku dosa.”
"Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdo’a.”
"Saya mau mati.”
"Kamu sakit?”
"Ya. Saya kena rajasinga.” Mendengar ini pastor mundur dua
tindak.
Mukanya mungkret.
Akhirnya agak keder ia kembali
bersuara:
"Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”
"Saya pelacur. Ya.”
"Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”
"Ya.”
"Santo Petrus!”
Tiga detik tanpa suara. Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
"Kamu telah tergoda dosa.”
"Tidak tergoda. Tapi melulu
berdosa.”
"Kamu telah terbujuk setan.” "Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.”
"Santo Petrus!”
"Santo Petrus! Pater, dengarkan
saya.
Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya sudah
gagal.
Jiwa saya kalut.
Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali. Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.”
Dan muka pastor menjadi merah
padam.
Ia menuding Maria Zaitun.
"Kamu galak seperti macan betina. Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.”
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku lesu tak berdaya.
Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara. Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang lapar dan dahaga.)
Jam tiga siang.
Matahari terus menyala.
Dan angin tetap tak ada.
Maria Zaitun bersijingkat
di atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyebrang jalan ia kepleset kotoran anjing.
Ia tak jatuh
tapi darah keluar dari borok di
klangkangnya
dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan ia berjalan sambil mengangkang.
Di dekat pasar ia berhenti.
Pandangnya berkunang-kunang.
Napasnya pendek-pendek. Ia
merasa lapar.
Orang-orang pergi menghindar. Lalu ia berjalan ke belakang satu
retoran.
Dari tong sampah ia kumpulkan
sisa makanan.
Kemudian ia bungkus hati-hati
dengan daun pisang. Lalu berjalan menuju ke luar kota.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Yang Mulya, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku. Pelacur lemah, gemetar
ketakutan.)
Jam empat siang.
Seperti siput ia berjalan.
Bungkusan sisa makanan masih di
tangan
belum lagi dimakan.
Keringatnya bercucuran. Rambutnya jadi tipis.
Mukanya kurus dan hijau
seperti jeruk yang kering.
Lalu jam lima.
Ia sampai di luar kota.
Jalan tak lagi beraspal tapi debu melulu.
Ia memandang matahari
dan pelan berkata: "Bedebah.”
Sesudah berjalan satu kilo lagi
ia tinggalkan jalan raya
dan berbelok masuk sawah berjalan di pematang.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik
ia tusukkan pedangnya perkasa di antara kelangkangku.
Dengarkan, Yang Mulya.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang kalah.
Pelacur terhina).
Jam enam sore.
Maria Zaitun sampai ke kali.
Angin bertiup.
Matahari turun.
Haripun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan
mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan.
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali. (Malaekat penjaga firdaus
tak kau rasakah bahwa senja telah
tiba
angin turun dari gunung
dan hari merebahkan badannya?
Malaekat penjaga firdaus dengan tegas mengusirku.
Bagai patung ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.) Jam tujuh. Dan malam tiba.
Serangga bersuiran.
Air kali terantuk batu-batu.
Pohon-pohon dan semak-semak di
dua tepi kali nampak tenang
dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan
remajanya.
Mandi di kali dengan ibunya.
Memanjat pohonan. Dan memancing ikan dengan
pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Dan takutnya pergi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi
kegagalan hidupnya.
Ia jadi berduka.
Dan mengadu pada sobatnya
sembari menangis tersedu-sedu. Ini tak baik buat penyakit
jantungnya. (Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabku.
Ia tak mau melihat mataku.
Sia-sia mencoba bicara padanya.
Dengan angkuh ia berdiri. Dan pedangnya menyala.) Waktu. Bulan. Pohonan. Kali.
Borok. Sipilis. Perempuan.
Bagai kaca
kali memantul cahaya gemilang.
Rumput ilalang berkilatan.
Bulan. Seorang lelaki datang di seberang
kali.
Ia berseru: "Maria Zaitun,
engkaukah itu?”
"Ya,” jawab Maria Zaitun
keheranan. Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok wajahnya.
Rambutnya ikal dan matanya
lebar.
Maria Zaitun berdebar hatinya.
Ia seperti pernah kenal lelaki itu. Entah di mana.
Yang terang tidak di ranjang.
Itu sayang. Sebab ia suka lelaki
seperti dia.
"Jadi kita ketemu di sini,” kata
lelaki itu. Maria Zaitun tak tahu apa
jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
lelaki itu membungkuk mencium
mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman
seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka
kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka. Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
ia merasa berlayar
ke samudra yang belum pernah
dikenalnya.
Dan setelah selesai ia berkata kasmaran:
"Semula kusangka hanya impian
bahwa hal ini bisa kualami.
Semula tak berani kuharapkan
bahwa lelaki tampan seperti kau
bakal lewat dalam hidupku.” Dengan penuh penghargaan lelaki
itu memandang kepadanya.
Lalu tersenyum dengan hormat
dan sabar.
"Siapakah namamu?” Maria Zaitun
bertanya. "Mempelai,” jawabnya.
"Lihatlah. Engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu
Maria Zaitun menciumi seluruh
tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti. Ia jumpai bekas-bekas luka di
tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria Zaitun pelan berkata: "Aku tahu siapa kamu.”
Lalu menebak lelaki itu dengan
pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala:
"Betul. Ya.” (Malaekat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku. Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman
firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku. Pelacur dan pengantin adalah
saya.)
karya : WS RENDRA