Angin gunung turun merembes ke
hutan,
lalu bertiup di atas permukaan
kali yang luas,
dan akhirnya berumah di daun-
daun tembakau.
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para
petani – buruh
yang terpacak di atas tanah
gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.
Para tani – buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa
jendela,
menanam bibit di tanah yang
subur,
memanen hasil yang berlimpah dan makmur
namun hidup mereka sendiri
sengsara.
Mereka memanen untuk tuan
tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong
pabrik cerutu di Eropa.
Dan bila mereka menuntut
perataan pendapatan,
para ahli ekonomi membetulkan
letak dasi,
dan menjawab dengan mengirim
kondom.
Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi sampai sore,
rakyat negeriku bergerak dengan
lunglai,
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri,
menoleh ke kanan,
di dalam usaha tak menentu.
Di hari senja mereka menjadi
onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya berubah menjadi
burung kondor.
Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung
tinggi,
dan disana mendapat hiburan dari
sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam dan
sakit hati.
Burung-burung kondor menjerit.
Di dalam marah menjerit,
bergema di tempat-tempat yang
sepi.
Burung-burung kondor menjerit
di batu-batu gunung menjerit
bergema di tempat-tempat yang
sepi Berjuta-juta burung kondor
mencakar batu-batu,
mematuki batu-batu, mematuki
udara,
dan di kota orang-orang bersiap
menembaknya.
"KARYA WS RENDRA"