Mawlana Jalaludin Rumi
Oleh Mawlana Syaikh Nazim Adil
al-Haqqani
( Grandson of Mawlana Rumi )
"Dia adalah, orang yang tidak
mempunyai ketiadaan,
Saya mencintainya dan Saya
mengaguminya, Saya memilih
jalannya dan Saya memalingkan
muka ke jalannya. Setiap orang mempunyai kekasih, dialah
kekasih saya, kekasih
yang abadi. Dia adalah orang
yang Saya cintai, dia
begitu indah, oh dia adalah yang
paling sempurna. Orang-orang yang mencintainya
adalah para pecinta yang
tidak pernah sekarat. Dia adalah
dia dan dia dan
mereka adalah dia. Ini adalah
sebuah rahasia, jika kalian mempunyai cinta, kalian
akan memahaminya.
( Sulthanul Awliya Mawlana Syaikh
Nazhim Adil
al-Haqqani – Cucu dari Mawlana
Rumi, Lefke, Cyprus
Turki, September 1998)
Rumi memang bukan sekadar
penyair, tetapi juga seorang
tokoh sufi yang berpengaruh di
zamannya. Rumi adalah
guru nomor satu Thariqat
Maulawiah, sebuah thariqat yang berpusat di Turki dan
berkembang di daerah
sekitarnya. Thariqat Maulawiah
pernah berpengaruh
besar dalam lingkungan Istana
Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun
l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat
menentang pendewaan
akal dan indera dalam
menentukan kebenaran. Di
zamannya, ummat Islam memang
sedang dilanda penyakit itu. Bagi mereka kebenaran baru
dianggap benar bila
mampu digapai oleh indera dan
akal. Segala sesuatu
yang tidak dapat diraba oleh
indera dan akal, dengan cepat mereka ingkari dan tidak
diakui. Padahal menurut Rumi, justru
pemikiran semacam itulah
yang dapat melemahkan Iman
kepada sesuatu yang ghaib.
Dan karena pengaruh pemikiran
seperti itu pula, kepercayaan kepada segala
hakekat yang tidak kasat
mata, yang diajarkan berbagai
syariat dan beragam
agama samawi, bisa menjadi
goyah.
Rumi mengatakan, "Orientasi
kepada indera dalam
menetapkan segala hakekat
keagamaan adalah gagasan
yang dipelopori kelompok
Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh
kepada panca indera.
Mereka menyangka dirinya
termasuk Ahlussunnah.
Padahal, sesungguhnya
Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan
tidak mau pula
memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan
sesuatu hanya karena
tidak pernah melihatnya dengan
mata kepala atau belum
pernah meraba dengan indera.
Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang
lahir, seperti faedah
penyembuhan yang terkandung
dalam obat. "Padahal, yang
lahir itu senantiasa menunjukkan
adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di
balik dirinya. Bukankah
Anda mengenal obat yang
bermanfaat? Bukankah
kegunaannya tersembunyi di
dalamnya?” tegas Rumi.
PENGARUH TABRIZ
Fariduddin Attar, salah seorang
ulama dan tokoh sufi,
ketika berjumpa dengan Rumi
yang baru berusia 5 tahun
pernah meramalkan bahwa si kecil
itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar.
Sejarah kemudian
mencatat, ramalan Fariduddin
Attar itu tidak meleset.
Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan
pada 604 H atau 30
September 1207. Mawlana Rumi
menyandang nama lengkap
Jalaluddin Muhammad bin
Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena
sebagian besar hidupnya
dihabiskan di Konya (kini Turki),
yang dahulu dikenal
sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad
Muhammad bin Husein, adalah
seorang ulama besar bermadzhab
Hanafi. Dan karena
kharisma dan tingginya
penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama. Namun
rupanya gelar itu
menimbulkan rasa iri pada
sebagian ulama lain. Dan
mereka pun melancarkan fitnah
dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang
penguasa terpengaruh
hingga Bahauddin harus
meninggalkan Balkh, termasuk
keluarganya. Ketika itu Rumi baru
berusia lima tahun. Sejak itu Bahauddin
bersama keluarganya hidup
berpindah- pindah dari suatu
negara ke negara lain.
Mereka pernah tinggal di Sinabur
(Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad,
Makkah, Malattya
(Turki), Laranda (Iran tenggara)
dan terakhir menetap
di Konya, Turki. Raja Konya
Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai
penasihatnya, dan juga
mengangkatnya sebagai pimpinan
sebuah perguruan agama
yang didirikan di ibukota tersebut.
Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi
berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi
juga berguru kepada
Burhanuddin Muhaqqiq at-
Turmudzi, sahabat dan
pengganti ayahnya memimpin
perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah)
atas saran gurunya itu.
Beliau baru kembali ke Konya
pada 634 H, dan ikut
mengajar di perguruan tersebut
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi
menggantikannya
sebagai guru di Konya. Dengan
pengetahuan agamanya
yang luas, di samping sebagai
guru, beliau juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam.
Ketika itu banyak
tokoh ulama yang berkumpul di
Konya. Tak heran jika
Konya kemudian menjadi pusat
ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru
dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi
dimulai ketika beliau
sudah berumur cukup tua, 48
tahun. Sebelumnya, Rumi
adalah seorang ulama yang
memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000
orang. Sebagaimana
seorang ulama, beliau juga
memberi fatwa dan tumpuan
ummatnya untuk bertanya dan
mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh
derajat ketika beliau
berjumpa dengan seorang sufi
pengelana, Syamsuddin
alias Syamsi dari kota Tabriz. Suatu saat, seperti biasanya Rumi
mengajar di hadapan
khalayak dan banyak yang
menanyakan sesuatu kepadanya.
Tiba-tiba seorang lelaki asing–yakni
Syamsi Tabriz–ikut bertanya, "Apa yang
dimaksud dengan
riyadhah dan ilmu?” Mendengar
pertanyaan seperti itu
Rumi terkesima. Kiranya
pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Beliau tidak
mampu menjawab.
Akhirnya Rumi berkenalan dengan
Tabriz. Setelah
bergaul beberapa saat, beliau
mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Sultan Salad, putera Rumi,
mengomentari perilaku
ayahnya itu, "Sesungguhnya,
seorang guru besar
tiba-tiba menjadi seorang murid
kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba
ilmu darinya, meski
sebenarnya beliau cukup alim dan
zuhud. Tetapi itulah
kenyataannya. Dalam diri Tabriz,
guru besar itu melihat kandungan ilmu yang
tiada taranya.” Rumi telah menjadi sufi, berkat
pergaulannya dengan
Tabriz. Kesedihannya berpisah dan
kerinduannya untuk
berjumpa lagi dengan gurunya itu
telah ikut berperan mengembangkan emosinya,
sehingga beliau menjadi
penyair yang sulit ditandingi.
Guna mengenang dan
menyanjung gurunya itu, beliau
tulis syair-syair, yang himpunannya kemudian dikenal
dengan nama Divan Syams
Tabriz. Beliau bukukan pula
wejangan-wejangan gurunya,
dan buku itu dikenal dengan nama
Maqalat Syams Tabriz. Rumi kemudian mendapat sahabat
dan sumber inspirasi
baru, Syaikh Hisamuddin Hasan
bin Muhammad. Atas
dorongan sahabatnya itu, selama
15 tahun terakhir masa hidupnya beliau berhasil
menghasilkan himpunan syair
yang besar dan mengagumkan
yang diberi nama Masnavi.
Buku ini terdiri dari enam jilid dan
berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini,
terlihat ajaran-ajaran
tasawuf yang mendalam, yang
disampaikan dalam bentuk
apologi, fabel, legenda, anekdot,
dan lain-lain. Bahkan Masnavi sering disebut
Qur’an Persia. Karya
tulisnya yang lain adalah
Ruba’iyyat (sajak empat
baris dengan jumlah 1600 bait),
Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan
himpunan ceramahnya tentang
metafisika), dan Maktubat
(himpunan surat-suratnya
kepada sahabat atau
pengikutnya). Bersama Syaikh Hisamuddin pula,
Rumi mengembangkan
Thariqat Maulawiyah atau
Jalaliyah. Thariqat ini di
Barat dikenal dengan nama The
Whirling Dervishes (para Darwisy yang berputar-putar).
Nama itu muncul karena
para penganut thariqat ini
melakukan tarian
berputar-putar, yang diiringi oleh
gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk
mencapai ekstase.
WAFATNYA MAWLANA RUMI
Semua manusia tentu akan
kembali kepada-Nya.
Demikianlah yang terjadi pada
Rumi. Penduduk Konya
tiba-tiba dilanda kecemasan,
karena mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka,
Rumi, tengah menderita
sakit keras. Meskipun demikian,
pikiran Rumi masih
menampakkan kejernihannya. Seorang sahabatnya datang
menjenguk dan mendo’akan,
"Semoga Allah berkenan memberi
ketenangan kepadamu
dengan kesembuhan.” Rumi sempat
menyahut, "Jika engkau beriman dan bersikap
manis, kematian itu akan
bermakna baik. Tapi kematian ada
juga yang kafir dan
pahit.” Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672
H atau 17 Desember
1273 dalam usia 68 tahun Rumi
dipanggil ke
Rahmatullah. Tatkala jenazahnya
hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-
desakan ingin mengantarkan
kepulangannya. Malam wafatnya
beliau dikenal sebagai
Sebul Arus (Malam Penyatuan).
Sampai sekarang para pengikut Thariqat Maulawiyah
masih memperingati
tanggal itu sebagai hari wafatnya
beliau. "SAMA”, Tarian Darwis yang
Berputar Suatu saat Rumi tengah
tenggelam dalam kemabukannya
dalam tarian "Sama” ketika itu
seorang sahabatnya
memainkan biola dan ney
(seruling), beliau mengatakan, "Seperti juga ketika salat kita
berbicara dengan
Tuhan, maka dalam keadaan
extase para darwis juga
berdialog dengan Tuhannya
melalui cinta. Musik Sama yang merupakan bagian salawat
atas baginda Nabi
Sallallahu alaihi wasalam adalah
merupakan wujud musik
cinta demi cinta Nabi saw dan
pengetahuanNya. Rumi mengatakan bahwa ada
sebuah rahasia tersembunyi
dalam Musik dan Sama, dimana
musik merupakan gerbang
menuju keabadian dan Sama
adalah seperti electron yang mengelilingi intinya bertawaf
menuju sang Maha
Pencipta. Semasa Rumi hidup
tarian "Sama” sering
dilakukan secara spontan disertai
jamuan makanan dan minuman. Rumi bersama teman
darwisnya selepas solat
Isa sering melakukan tarian sama
dijalan-jalan kota
Konya. Terdapat beberapa puisi dalam
Matsnawi yang memuji
Sama dan perasaan harmonis
alami yang muncul dari
tarian suci ini. Dalam bab ketiga
Matsnawi, Rumi menuliskan puisi tentang kefanaan
dalam Sama, "ketika
gendang ditabuh seketika itu
perasaan extase merasuk
bagai buih-buih yang meleleh dari
debur ombak laut”. Tarian Sakral Sama dari tariqah
Mevlevi Haqqani atau
Tariqah Mawlawiyah ini masih
dilakukan saat ini di
Lefke, Cyprus Turki dibawah
bimbingan Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani. Ajaran Sufi
Mawlana Syaikh
Nazim dan mawlana Syaikh
Hisyam juga merambah
keberbagai kota di Amerika
maupun Eropa, sehingga tarian Whirling Dervishes ini juga
dilakukan di banyak
kota-kota di Amerika, Eropa dan
Asia di bawah
bimbingan Mawlana Syaikh
Hisyam Kabbani ar-Rabbani. Tarian Sama ini sebagai tiruan
dari keteraturan alam
raya yang diungkap melalui
perputaran planet-planet.
Perayaan Sama dari tariqah
Mevlevi dilakukan dalam situasi yang sangat sakral dan
ditata dalam penataan
khusus pada abad ke tujuh belas.
Perayaan ini untuk
menghormati wafatnya Rumi,
suatu peristiwa yang Rumi dambakan dan ia lukisakna dalam
istilah-istilah yang
menyenangkan. Para Anggota Tariqah Mevlevi
sekarang belajar
menarikan tarian ini dengan
bimbingan Mursyidnya.
Tarian ini dalam bentuknya
sekarang dimulai dengan seorang peniup suling yang
memainkan Ney, seruling
kayu. Para penari masuk
mengenakan pakaian putih yang
sebagai simbol kain kafan, dan
jubah hitam besar sebagai symbol alam kubur dan
topi panjang merah atau
abu-abu yang menandakan batu
nisan. Akhirnya seorang Syaikh masuk
paling akhir dan
menghormat para Darwish
lainnya. Mereka kemudian balas
menghormati. Ketika Syaikh duduk
dialas karpet merah menyala yang menyimbolkan
matahari senja merah tua
yang mengacu pada keindahan
langit senja sewaktu Rumi
wafat. Syaikh mulai bersalawat
untuk Rasulullah saw yang ditulis oleh Rumi disertai
iringan musik,
gendang, marawis dan seruling
ney. Peniup seruling dan penabuh
gendang memulai musiknya
maka para darwis memulai
dengan tiga putaran secara
perlahan yang merupakaan
simbolisasi bagi tiga tahapan yang membawa manusia menemui
Tuhannya. Pada puatran
ketiga Syaikh kembali duduk dan
para penari melepas
jubah hitamnya dengan gerakan
yang menyimbulkan kuburan untuk mengalami ‘ mati
sebelum mati”,
kelahiran kedua. Ketika Syaikh mengijinkan para
penari menari, mereka
mulai dengan gerakan perlahan
memutar seperti putaran
tawaf dan putaran planet-planet
mengelilingi matahari. Ketika tarian hamper usai maka
syaikh berdiri dan
alunan musik dipercepat. Proses
ini diakhiri dengan
musik penutup danpembacaan
ayat suci Al-Quran. Rombongan Penari Darwis, secara
teratur menampilkan
Sama di auditorium umum di
Eropa dan Amerika Serikat.
Sekalipun beberapa gerakan
tarian ini pelan dan terasa lambat tetapi para pemirsa
mengatakan penampilan ini
sangat magis dan menawan.
Kedalaman konsentrasi, atau
perasaan dzawq dan ketulusan
para darwis menjadikan gerakan mereka begitu
menghipnotis. Pada akhir
penampilan para hadirin diminta
untuk tidak bertepuk
tangan karena "Sama” adalah
sebuah ritual spiritual bukan sebuah pertunjukan seni. Pada abad ke 17, Tariqah Mevlevi
atau Mawlawiyah
dikendalikan oleh kerajaan
Utsmaniyah. Meskipun
Tariqah Mawlawiyah kehilangan
sebagian besar kebebasannya ketika berada
dibawah dominasi
Ustmaniyah, tetapi perlindungan
Sang Raja menungkinkan
Tariqah Mawlawi menyebar luas
keberbagai daerah dan memperkenalkan kepada banyak
orang tentang tatanan
musik dan tradisi puisi yang unik
dan indah. Pada Abad
ke 18, Salim III seorang Sultan
Utsmaniyah menjadi anggota Tariqah Mawlawiyah dan
kemudian dia
menciptakan musik untuk
upacara-upacara Mawlawi. Selama abad ke 19 , Mawlawiyah
merupakan salah satu
dari sekitar Sembilan belas aliran
sufi di Turtki dan
sekitar tigapuluh lima kelompok
semacam itu dikerajaan Utsmaniyah. Karena perlindungan
dari raja mereka,
Mawlawi menjadi kelompok yang
paling berpengarh
diseluruh kerajaan dan prestasi
cultural mereka dianggap sangat murni. Kelompok
itu menjadi terkenal
di barat., Di Eropa dan Amerika
pertunjukkan keliling
mereka menyita perhatian public.
Selama abad 19, sebuah panggung pertunjukkan
yang didirikan di Turki
menarik perhatian banyak
kelompok wisatawan Eropa yang
dating ke Turki. Pada tahun 1925, Tariqah
Mawlawi dipaksa membubarkan
diri ditanah kelahiran mereka
Turki, setelah Kemal
Ataturk pendiri modernisasi Turki
melarang semua kelompok darwis lengkap dengan
upacara serta
pertunjukkan mereka. Pada saat
itu makam Rumi di Konya
diambil alih pemerintah dan
diubah menjadi museum Negara. Motivasi utama Atatutrk adalah
memutuskan hubungan
Turki dengan masa pertengahan
guna mengintegrasikan
Turki dengan dunia modern
seperti demokrasi ala barat. Bagi Ataturk tariqah sufi menjadi
ancaman bagi
modernisasi Turki. Pada saat itulah
Syaikh Nazim
ﻕ mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan
mengajar agama Islam di Siprus,
Turki. Mawlana Syaikh Nazim Adil al-
Haqqani Banyak murid yang mendatangi
Mawlana Syaikh Nazim dan
menerima Thariqat Naqsybandi
Haqqani. Selain itu
beliau adalah pemegang otoritas
Mursyid tujuh Tariqah Sufi besar lainnya, termasuk
Mevlevi Haqqani atau
Mawlawiyah, Qodiriah,
Syadziliyah, Chisty. Namun
sayang, waktu itu semua agama
dilarang di Turki dan karena beliau berada di dalam
komunitas orang-orang
Turki di Siprus, agama pun
dilarang di sana. Bahkan
mengumandangkan azan pun tak
diperbolehkan. Langkah Syaikh Nazim yang
pertama ketika itu adalah
menuju masjid di tempat
kelahirannya dan
mengumandangkan azan di sana,
segera beliau dimasukkan penjara selama seminggu. Begitu
dibebaskan, Syaikh
Nazim ﻕ pergi menuju masjid besar di Nikosia dan
melakukan azan di menaranya.
Hal itu membuat para
pejabat marah dan beliau dituntut
atas pelanggaran
hukum. Sambil menunggu sidang, Syaikh
Nazim ﻕ terus mengumandangkan azan di
menara-menara masjid di
seluruh Nikosia. Sehingga
tuntutannya pun terus
bertambah, ada 114 kasus yang
menunggu beliau. Pengacara menasihati beliau agar
berhenti melakukan
azan, namun Syaikh Nazim ﻕ mengatakan, " Tidak,
aku tidak bisa mengehntikannya.
Orang-orang harus
mendengar panggilan azan untuk
shalat.” Ketika hari persidangan tiba,
Mawlana Syaikh Nazim
didakwa atas 114 kasus
mngumandangkan azan diseluruh
Cyprus. Jika tuntutan 114 kasus itu
terbukti, maka beliau bisa dihukum 100 tahun
penjara. Tetapi pada
hari yang sama hasil pemilu
diumumkan di Turki.
Seorang laki-laki bernama Adnan
Menderes dicalonkan untuk berkuasa. Langkah
pertamanya ketika terpilih
menjadi Presiden adalah
membuka seluruh masjid-masjid
dan mengizinkan azan
dikumandangkan dalam bahasa Arab.
Inilah keajaiban yang diberikan
Allah swt kepada
Mawlana Syaikh Nazim. Hingga saat ini makam Rumi di
Konya tetap terpelihara
dan dikelola oleh pemerintah
Turki sebagai tempat
wisata. Meskipun demikian
pengunjung yang datang kesana yang terbanyak adalah
para peziarah dan bukan
wisatawan. Melalui sebuah
kesepakatan pemerintah
Turki, pada tahun 1953 akhirnya
menyetujui tarian "Sama” Tariqah Mawlawi
dipeertontonkan lagi di Konya
dengan syarat pertunjukan
tersebut bersifat cultural
untuk para wisatawan. Rombongan Darwis juga diijinkan
untuk berkelana secara
Internasional. Meskipun demikian
secara keseluruhan
berbagai aspek sufisme tetap
menjadi praktek yang illegal di Turki dan para sufi
banyak diburu sejak
Ataturk melarang agama mereka. Wa min Allah at Tawfiq -———————————— "AKAN tiba saatnya, ketika Konya
menjadi semarak, dan
makam kita tegak di jantung kota.
Gelombang demi
gelombang khalayak menjenguk
mousoleum kita, menggemakan ucapan-ucapan
kita.” Itulah ucapan Jalaluddin Rumi
pada putranya, Sultan
Walad, di suatu pagi. Dan waktu
kemudian berlayar,
melintasi tahun dan abad. Konya
seakan terlelap dalam debu sejarah. "Tetapi, kota
Anatolia Tengah ini tetap
berdiri sebagai saksi kebenaran
ucapan Rumi,” tulis
Talat Said Halman, peneliti karya-
karya mistik Rumi. Kenyataannya memang demikian.
Lebih dari 7 abad, Rumi
bak bayangan yang abadi
mengawal Konya, terutama untuk
pada pengikutnya, the whirling
dervishes, para darwis yang menari. Setiap tahun, dari
tanggal 2-17 Desember,
jutaan peziarah menyemut
menuju Konya. Dari delapan
penjuru angin mereka berarak
untuk memperingati kematian Rumi, 727 tahun silam. Siapakah sesungguhnya makhluk
ini, yang telah
menegakkan sebuah pilar di
tengah khazanah keagamaan
Islam dan silang sengketa paham?
"Dialah penyair mistik terbesar sepanjang zaman,”
kata orientalis
Inggris Reynold A Nicholson. "Ia
bukan nabi, tetapi ia
mampu menulis kitab suci,” seru
Jami, penyair Persia Klasik, tentang karya
Rumi,Matsnawi. Gandhi pernah mengutip kata-
katanya. Rembrandt
mengabadikannya dikanvas,
Muhammad Iqbal, filsuf dan
penyair Pakistan, sekali waktu
pernah berdendang, "Maulana mengubah tanah
menjadi madu…. Aku mabuk
oleh anggurnya; aku hidup dari
napasnya.” Bahkan, Paus
Yohanes XXIII, pada 1958
menuliskan pesan khusus: "Atas nama dunia Katolik, saya
menundukkan kepala
penuh hormat mengenang Rumi.” Besar dalam kembara Jalaluddin dilahirkan 30
September 1207 di Balkh, kini
wilayah Afganistan. Ia Putra
Bahauddin Walad, ulama
dan mistikus termasyhur, yang
diusir dari kota Balkh tatkala ia berumur 12 tahun.
Pengusiran itu buntut
perbedaan pendapat antara
Sultan dan Walad. Keluarga ini kemudian tinggal di
Aleppo (Damaskus),
dan di situ kebeliaan Jalaluddin
diisi oleh guru-guru
bahasa Arab yang tersohor. Tak
lama di Damakus, keluarga ini pindah ke Laranda,
kota di Anatolia
Tengah, atas permintaan Sultan
Seljuk Alauddin
Kaykobad. Konon, Kaykobad membujuk dalam
sebuah surat kepada
Walad, "Kendati saya tak pernah
menundukkan kepala
kepada seorang pun, saya siap
menjadi pelayan dan pengikut setia Anda.” Di kota ini
ibu Jalaluddin,
Mu’min Khatum, meninggal dunia.
Tak lama kemudian,
dalam usia 18 tahun, Jalaluddin
menikah. 1226, putra pertama Jalaluddin, Sultan Walad,
lahir. Setahun
kemudian, keluarga ini pindah ke
Konya, 100 Km dari
Laranda. Di sini, Bahauddin Walad
mengajar di madrasah. 1229, anak kedua
Jalaluddin, Alauddin,
lahir. Dua tahun kemudian, dalam
usia 82 tahun,
Bahaudin Walad meninggal dunia. Era baru pun dialami Jalaluddin.
Dia menggantikan
Walad, dan mengajarkan ilmu-
ilmu ketuhanan
tradisional, tanpa menyentuh
mistik. Setahun setelah kematian ayahnya, suatu pagi,
madrasahnya kedatangan
tamu, Burhannuddin Muhaqiq,
yang ternyata murid
terkasih Walad. Dan ketika
menyadari sang guru telah tiada, Muhaqiq mewariskan
ilmunya pada Jalaluddin.
Burhanuddin pun menggembleng
muridnya dengan
latihan tasawuf yang telah
dimatangkan selama 4 abad terakhir oleh para sufi, dan
beberapa kali meminta dia
ke Damakus untuk menambah
lmu. 8 tahun menggembleng,
1240, Burhanuddin kembali ke
Kayseri. Jalaluddin Rumi pun menggembleng diri sendiri. Cinta adalah menari Tahun 1244, saat berusia 37
tahun, Jalaluddin sudah
berada di atas semua ulama di
Konya. Ilmu yang dia
timba dari kitab-kitab Persia, Arab,
Turki, Yunani dan Ibrani, membuat dia nyaris
ensiklopedis. Gelar Maulana
Rumi (Guru bangsa Rum) pun dia
raih. Tapi, di sebuah
senja Oktober, sehabis pulang dari
madrasah, seseorang yang tak dia kenal,
menjegat langkahnya, dan
menanyakan satu hal. Mendengar
pertanyaan itu, Rumi
langsung pingsan! Sebuah riwayat mengatakan,
orang tak dikenal itu
bertanya, "Siapa yang lebih agung,
Muhammad Rasulullah
yang berdoa, ‘Kami tak mengenal-
Mu seperti seharusnya’ atau seorang sufi Persia, Bayazid
Bisthami yang
berkata, ‘Subhani, mahasuci diriku,
betapa agungnya
kekuasaanku’. Pertanyaan mistikus
Syamsuddin Tabriz itu mengubah hidup Rumi. Dia
kemudian tak lagi
terpisahkan dari Syams. Dan di
bawah pengaruh Syams,
ia menjalani periode mistik yang
nyala, penuh gairah, tanpa batas, dan kini, mulai
menyukai musik. Mereka
menghabiskan hari bersama-sama,
dan menurut riwayat,
selama berbulan-bulan mereka
dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar
manusia, khusuk
menuju Cinta Ilahiah. Tapi hal ini tak lama.
Kecemburuan warga Konya,
membuat Syams pergi. Dan saat
Syams kembali, warga
membunuhnya. Rumi kehilangan,
kehilangan terbesar yang dia gambarkan seperti kehidupan
kehilangan mentari. Tapi, suatu pagi, seorang pandai
besi membuat
Jalaluddin menari. Pukulan
penempa besi itu,
Shalahuddin, membuat dia
ekstase, dan tanpa sadar mengucapkan puisi-puisi mistis,
yang berisi ketakjuban pada
pengalaman syatahat. Rumi pun
kemudian bersabahat
dengan Shalahuddin, yang
kemudian menggantikan posisi Syams. Dan era menari pun
dimulai Rumi, menari sambil
memadahkan syair-syair cinta
Ilahi. "Tarian para
darwis itulah yang kemudian
menjadi semacam bentuk ratapan Rumi atas kehilangan
Syams,” jelas Talat. Sampai meninggalnya, 17
Desember 1273, Rumi tak pernah
berhenti menari, kerana dia tak
pernah berhenti
mencintai Allah. Tarian itu juga
yang membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi
berubah dari yang
mencintai jadi yang dicintai. (Aulia
A Muhammad) ~ SUARA MERDEKA